Pendidikan inklusif telah menjadi isu global yang terus diperdebatkan. Di satu sisi, ia dianggap sebagai strategi penting untuk menciptakan kesetaraan pendidikan, sementara di sisi lain, banyak yang memandangnya sekadar sebagai pemenuhan kewajiban moral belaka.
Lantas, bagaimana seharusnya kita memposisikan pendidikan inklusif sebagai sebuah langkah strategis atau hanya bentuk kepatuhan terhadap norma sosial?
Pendidikan Inklusif sebagai Strategi Pembangunan SDM
Pendidikan inklusi merupakan kata atau istilah yang dikumandangkan oleh UNESCO berasal dari kata Education for All yang artinya pendidikan yang ramah untuk semua, pendekatan pendidikan yang berusaha menjangkau semua orang tanpa terkecuali.
Mereka semua memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh manfaat yang maksimal dari pendidikan. Hak dan kesempatan itu tidak dibedakan oleh keragaman karakteristik individu secara fisik, mental, sosial, emosional, dan bahkan status sosial ekonomi.
Pada titik ini tampak bahwa konsep pendidikan inklusif sejalan dengan filosofi pendidikan nasional Indonesia yang tidak membatasi akses peserta didik kependidikan hanya karena perbedaan kondisi awal dan latar belakangnya. Inklusifpun bukan hanya bagi mereka yang berkelainan atau luar biasa melainkan berlaku untuk semua anak. (Adinda Anggareni,2024)
Menurut UNESCO (2020), pendidikan inklusif meningkatkan partisipasi sosial dan mengurangi kesenjangan, yang pada akhirnya berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi.
Negara-negara seperti Finlandia dan Kanada telah membuktikan bahwa sistem pendidikan inklusif yang terencana dengan baik justru melahirkan lulusan yang lebih kreatif dan mampu berkolaborasi dalam keberagaman.
Pendidikan Inklusif: Kewajiban Moral yang Harus Diubah Menjadi Strategi
Pendidikan inklusif telah muncul sebagai salah satu strategi untuk mengatasi kesenjangan pendidikan dan memastikan bahwa setiap anak memiliki akses yang setara terhadap pendidikan yang berkualitas.
Pendidikan inklusif mengacu pada sistem pendidikan yang mengakomodasi keberagaman peserta didik, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus, dalam lingkungan belajar yang sama (Baglieri, 2022).
Salah satu manfaat utama pendidikan inklusif adalah kemampuannya dalam menumbuhkan kesadaran dan penerimaan akan keragaman. Dengan belajar Bersama, siswa dari berbagai latar belakang dan kemampuan, mereka dapat mengasah empati, toleransi, serta kemampuan bersosialisasi.
Manfaat ini tidak hanya dirasakan oleh siswa berkebutuhan khusus, tetapi juga oleh siswa lainnya yang belajar menghargai perbedaan dan berkolaborasi dalam kelompok yang beragam. (Loso judijanto, 2025)
Harvard Business Review (2021) bahkan menyatakan, bahwa keberagaman (termasuk dalam pendidikan) melatih kemampuan problem-solving dan inovasi. Artinya, pendidikan inklusif bukan hanya soal “berbuat baik”, melainkan juga tentang menyiapkan generasi yang tangguh di masa depan.
KESIMPULAN
Pendidikan inklusif tidak boleh dipandang sekadar sebagai kewajiban moral, melainkan sebagai strategi pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkelanjutan.
Konsep ini, yang diusung oleh UNESCO sebagai Education for All, bertujuan menciptakan kesetaraan akses pendidikan bagi semua individu, terlepas dari perbedaan fisik, mental, sosial, atau ekonomi.
Praktiknya telah terbukti meningkatkan partisipasi sosial, mengurangi kesenjangan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi, seperti yang ditunjukkan oleh negara-negara seperti Finlandia dan Kanada.
Selain manfaat strategis, pendidikan inklusif juga membentuk generasi yang empatik, toleran, dan inovatif melalui interaksi dalam keberagaman. Studi dari Harvard Business Review (2021) menegaskan, bahwa lingkungan inklusif melatih kemampuan problem solving, dan kolaborasi kunci untuk menghadapi tantangan masa depan.***
Penulis :
Nazli Ahkami
Mahasiswa S2 Jurusan Manajemen Pendidikan Islam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta