Oleh
Eva Kuriah, M.Pd
Guru SMAN 1 Pamarayan, Kabupaten Serang-Banten

KALIMAT ini tentu saja membuat banyak civitas yang bergelut di dunia pendidikan berpikir kritis termasuk saya. Ada apa dengan dunia pendidikan?

Sudah hilangkah rasa percaya terhadap sekolah untuk mencetak generasi penerus bangsa yang diimpikan oleh rakyat Indonesia?

Atau tidak ada rasa dan asa yang dititipkan orangtua bahwa sekolah yang membedakan antara orang intelektual dan brutal hanya gara-gara aksi gangster yang tidak tahu aturan dan sudah banyak memakan korban, lagi-lagi sekolah yang disalahkan!

Semua elemen menanyakan bagaimana peran sekolah terhadap aksi tersebut? Adakah tindak lanjut dari pihak sekolah yang membuat anak jera berpikir ribuan kali untuk melakukan aksi serupa. Atau mungkin hanya didata dan dibiarkan begitu saja.

Pihak aparat pun gencar melakukan penyuluhan-penyuluhan kepada pihak sekolah yang disinyalir banyak siswa yang ikut serta, karena berawal dari sekolahlah aksi itu terlaksana. Lagi-lagi sekolah yang jadi sorotan utama.

Hal itu kini menjadi polemik didunia pendidikan, sekolah bukan lagi tempat belajar, bukan tempat berkreasi dan berinovasi bukan tempat bersosialisasi bahkan bukan tempat untuk berdiskusi tentang pendidikan.

Yang ada dibenak mereka sekolah adalah tempat utama yang mengenalkan anak terhadap tingkah laku yang merusak, tempat anak bebas mencari jati diri tanpa disertai adab dan budi pekerti, tempat yang mengantarkan pada bagaimana menjadi penguasa selanjutnya.

Tempat yang mencetak pejabat bermuka dua, atau tempat bagaimana menjadi orang kaya dengan menghalkan berbagai cara?

Tidak ditemukan lagi jiwa yang ikhlas menuntut ilmu, baik siswa maupun dewan guru. Apalagi kata memanusiakan manusia yang diusung bapak pendidikan Paulo Freire jauh dari nyata.

Sementara para orangtua hanya mencari pembenaran dari kata kenapa kok terjadi, kemana guru-gurunya?

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini